Masa
Penjajahan Belanda
Kedatangan bangsa Belanda ke tanah Nusantara dimulai pada tahun 1596.
Mereka ingin melakukan hubungan dagang dengan penduduk yang ada di wilayah
Nusantara. Untuk pertama kalinya beberapa kapal Belanda singgah di Pelabuhan
Banten. Lama kelamaan, kapal dagang Belanda yang datang semakin bertambah.
Untuk mencegah adanya persaingan yang tidak sehat di antara pedagang
Belanda dan pedagang asing lainnya (khususnya Portugis dan Spanyol), maka para
pedagang Belanda mendirikan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC,
yaitu kongsi atau perserikatan perdagangan Belanda yang ada di wilayah
Nusantara. VOC didirikan pada tahun 1602 dan dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal
yang bernama Pieter Both. Akan tetapi, pada tanggal 31 Desember 1799 VOC
dibubarkan.
Kedatangan bangsa asing ke wilayah Nusantara pada awalnya disambut
dengan gembira oleh rakyat Indonesia. Mereka semua dating dengan tujuan
melakukan perniagaan, yaitu jual beli rempah-rempah yang memang sangat
dibutuhkan oleh bangsa Eropa. Akan tetapi karena keangkuhan dan keserakahannya,
bangsa Eropa menerapkan system monopoli.
Pada saat
sistem ini diterapkan, mulailah ada reaksi dari rakyat Indonesia. Apalagi
setelah mereka menerapkan sistem kolonial. Rakyat Indonesia bukan saja bereaksi,
tetapi juga mengadakan perlawanan bersenjata. Adapun perlawanan rakyat
Indonesia dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang, antara lain sebagai berikut.
A.
Perlawanan
pada Abad ke-17 dan Abad ke-18
1. Thomas
Matulessy (Pattimura) di Maluku
Rakyat Maluku telah lama mengalami
penindasan dari bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda sejak abad ke-16. Rakyat
Maluku sadar betul apa makna penjajahan yang selama ini dialaminya. Betapa hebatnya
penderitaan rakyat Maluku ketika masa Pelayaran Hongi. Rakyat Maluku semakin gelisah
ketika adanya paksaan untuk menjadi serdadu (tentara) Belanda yang akan
dikirimkan ke Pulau Jawa. Kesabaran rakyat Maluku telah habis. Mereka pun segera
berencana untuk melancarkan perlawanan.
Pada
tanggal 3 Mei 1817, ratusan pemuda dari Haria mengadakan pertemuan di dalam
hutan yang terletak antara negeri Tiow dan negeri Paperu. Pertemuan itu
memutuskan untuk menyerang dan menyerbu Benteng Duurstede di Pantai Saparua
yang merupakan lambing penjajahan Belanda. Pertemuan itu juga memutuskan untuk
mengajak seluruh rakyat Maluku untuk melawan penjajahan Belanda.
Rakyat Maluku bangkit menentang Belanda
pada tanggal 16 Mei 1817 di bawah pimpinan Pattimura. Beliau adalah seorang
Kristen yang taat, pandai dan cekatan. Dilahirkan pada tanggal 8 Juni 1783
dengana nama Thomas Matulessy. Ia pernah menjadi tentara Inggris dengan pangkat
sersan mayor. Kemudian ia terkenal dengan sebutan Kapitan Pattimura. Di dalam
pertempuran itu semua penghuni benteng mati terbunuh. Benteng dihancurkan,
bahkan Residen Belanda yang bernama Van den Berg tewas dalam peristiwa itu. Kemudian
Belanda mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Mayor Beetjes. Begitu pasukan
bantuan itu mendarat di Muara Sungai Waisisil, langsung dipukul mundur oleh
Pattimura. Mayor Beetjes tewas dalam pertempuran tersebut. Pasukan Belanda
lainnya yang dipimpin Overste Meyer dan Laksamana Buykes juga dapat dipukul
mundur.
Raja-raja kecil di Maluku turut membantu
perjuangan Pattimura, seperti Raja Lha, Nolot, Tuhaja, Itawaku dan Ihamaku.
Selain itu juga Pattimura dibantu oleh Philip Latumahimma dan seorang putri
raja Maluku yang bernama Martha Khristina Tiahahu yang berusia 18 tahun.
Belanda merasa kewalahan dengan
perlawanan dari pasukan Pattimura ini. Lalu, Belanda mengajak Pattimura untuk
berunding, namun ditolaknya dengan tegas. Belanda semakin meningkatkan
serangannya untuk mendesak Pattimura. Akibatnya beberapa pimpinan pasukan Pattimura
dapat ditangkap. Pattimura juga akhirnya dapat ditangkap, beliau dijatuhi
hukuman mati dengan cara digantung di depan Benteng Viktoria pada tanggtal 16
Desember 1817. Penangkapan Pattimura disebabkan adanya pengkhianatan dari Raja
Boi. Ia menunjukkan tempat pertahanan Pattimura kepada Belanda.
Begitu juga dengan Raja Paulus Tiahahu,
ayah Martha Khristina Tiahahu ditembak mati di hadapan rakyatnya. Martha
Khristina Tiahahu sendiri diasingkan ke Pulau Jawa, namun sebelum sampai di
Pulau Jawa beliau wafat, yaitu pada tanggal 2 Januari 1818.
2.
Tuanku
Imam Bonjol
Tuanku Iman Bonjol adalah pemimpin
Perang Padri tahun 1821-1837. Penyebab timbulnya Perang Padri adalah adanya
pertentangan antara kaum adat dengan kaum Islam (ulama). Kaum adat terdiri atas
raja dan para pengikutnya, sebagian besar masyarakat Minangkabau dikuasai oleh
kaum adat. Perbuatan dan adat kebiasaan para penghulu adat sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Seperti kebiasaan
hidup mewah, berjudi, minum minuman keras dan menyambung ayam. Sikap hidup yang
demikian menimbulkan kerawanan sosial. Di dalam masyarakat, sering terjadi pencurian, perampokan serta menimbulkan
kegelisahan masyarakat. Akibat yang lebih jauh lagi adalah membawa kemelaratan
terhadap rakyat.
Pada awal abad ke-19 terjadi perubahan.
Pada saat itu mulai banyak orang Minangkabau yang pergi menunaikan ibadah haji.
Selama menunaikan rukun Islam ke-5 itu. Di tanah suci Arab sedang
terjadi gerakan Wahabi, yaitu gerakan yang menghendaki agar ajaran Islam
dilaksanakan secara murni sesuai dengan Alquran dan Hadis Rosul. Sepulangnya
dari haji, orang Minangkabau menyebarkan ajaran Wahabi tersebut. Para pengikutnya
disebut Kaum Padri.
Kaum Padri menentang kebiasaan dan adat
istiadat yang merusak masyarakat, terutama yang bertentangan dengan ajaran
Islam. Pimpinan kaum Padri adalah Peta Syarif. Beliau dikenal dengan nama Iman
Bonjol atau Tuanku Imam Malim Besar. Beliau dilahirkan pada tahun 1772 di Tanjung
Bunga Pasaman, Sumatera Barat. Iman Bonjol mewajibkan pengikutnya memakai
pakaian dan sorban putih. Oleh karena itu, mereka disebut kaum Putih.
Perbedaan antara kedua kaum itu
menimbulkan permusuhan yang akhirnya meningkat menjadi perang saudara. Perang
saudara ini menjadi meningkat setelah kekuasaan asing campur tangan. Belanda memanfaatkan
pertentangan yang sedang terjadi di Minangkabau saat itu. Pada tanggal 10
Februari 1821, Belanda mengadakan perjanjian antara kaum adat dengan Gubernur
Jenderal Belanda. Atas dasar perjanjian itulah beberapa daerah dikuasai oleh
Belanda. Mereka pun bersiap-siap untuk menghadapi kaum Padri.
Kaum Padri mengetahui rencana tersebut,
mereka segera membuat benteng yang besar dan luas di daerah Bonjol. Akhirnya,
Belanda menyerang kaum Padri dengan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Raaf. Pertempuran
dasyat pun tak bisa dihindarkan lagi.
Tuanku Imam Bonjol menyambut Belanda
dengan perlawanan yang gigih. Imam Bonjol dibantu oleh sejumlah ulama dan
penghulu yang memihak kepadanya, seperti Tuanku Nan Renceh, Haji Miskin, Haji Piabang
dan Haji Sumanik. Belanda mendirikan benteng di Bukittinggi dan Batusangkar.
Walaupun demikian, Belanda tidak dapat mengalahkan pasukan kaum Padri. Dalam
pertempuran itu, Tuanku Nan Renceh gugur dan menjadi pahlawan bangsa.
Pada tahun 1825, di Pulau Jawa sedang
terjadi Perang Diponegoro. Belanda menghadapi kesulitan. Mereka harus
mengerahkan kekuatan militernya ke Pulau Jawa. Oleh karena itu, Belanda bermaksud
mengadakan perjanjian damai dengan Imam Bonjol.
Pada tanggal 29 Oktober 1825, Belanda
berhasil mengadakan perjanjian damai dengan kaum Padri yang terkenal dengan
Perjanjian Padang. Isi perjanjian tersebut adalah “Kedua belah pihak sepakat mengadakan gencatan
senjata.” Setelah perjanjian itu, selama 4 tahun tanah Minangkabau aman, tidak
ada peperangan antara kaum Padri dengan Belanda.
Ketika Perang Diponegoro selesai pada
tahun 1830, pasukan Belanda dialihkan untuk menyerang Imam Bonjol. Pada pertengahan
tahun 1832, Belanda mengirimkan pasukannya ke Sumatera Barat. Benteng Padri
yang kuat itu pun berhasil direbut Belanda. Namun, pada tahun 1833 benteng itu
dapat direbut kembali oleh pasukan Imam Bonjol dari tangan Belanda.
Belanda terus berusaha menundukkan Iman
Bonjol. Kini, Belanda menggunakan siasat Benteng. Pasukan Belanda yang dipimpin
Jenderal Michiels. Ketika itu, kaum Padri sudah bersatu dengan kaum adat untuk bersama-sama
melawan Belanda.
Walaupun senjata pasukan Belanda lengkap
dan banyak, tetapi mereka baru berhasil menguasai benteng Bonjol pada bulan
Oktober 1837. Imam Bonjol berhasil ditangkap Belanda pada tanggal 25 Oktober
1837. Pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol dipindahkan ke Ambon
Maluku. Kemudian pada tahun 1841, dipindahkan ke Manado di Sulawesi Utara. Pada
tanggal 6 November 1864, beliau wafat dalam usia 92 tahun. Dimakamkan di
kampung Pineleng dekat Kota Manado.
3. Pangeran
Diponegoro
Pangeran
Diponegoro semasa kecilnya bernama Ontowiryo. Dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal
11 November 1785. Beliau adalah putra Sultan Hamengku Buwono III. Beliau
mendapat pendidikan agama Islam, keprajuritan dan kepahlawanan. Juga budi
pekerti, cinta kepada sesama manusia, cinta bangsa dan cinta tanah air.
Berkat pendidikan nenek buyutnya,
Pangeran Diponegoro menyadari benar bahwa kemerosotan bangsa dan negaranya
adalah akibat adanya penjajahan Belanda. Alasan lain yang mendorong Pangeran
Diponegoro melakukan perlawanan terhadap Belanda sangatlah banyak. Kerajaan Mataram
yang demikian besarnya pecah menjadi 4 kerajaan kecil akibat campur tangan
Belanda, yaitu Kerajaan Yogyakarta, Kerajaan Surakarta, Kerajaan Paku Alam, dan
Kerajaan Mangkunegaraan. Bahkan Patih Kerajaan Yogyakarta yang bernama Danureja
IV mendukung penjajahan Belanda. Ia turut serta memeras rakyat.
Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro
tidak menyukai terhadap patih kerajaan tersebut. Kemarahan Pangeran Diponegoro
terhadap Belanda memuncak ketika Patih Danureja IV, suruhan Daendels memasang tonggak-tonggak
di atas tanah milik Pangeran Diponegoro di Tegalejo. Hal itu dilakukan tanpa
seizin Pangeran Diponegoro terlebih dahulu.
Pada tanggal 20 Juli 1825, pasukan
Belanda melakukan serangan ke Tegalrejo. Hal ini membangkitkan perlawanan
Pangeran Diponegoro. Daerah Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Kedu dan Banyumas
juga ikut berontak. Kedu dijadikan pusat perlawanan dan pemerintahan Pangeran Diponegoro.
Markas besarnya terletak di Gunung Manoreh.
Perlawanan Diponegoro dibantu pula oleh
teman-temannya. Pangeran Mangkubumi dan Kiai Maja sebagai penasehat. Pangeran Ngabehi
Jayakusuma dan Sentot Alibasya
Prawirodirjo sebagai panglima perang. Ada pula bantuan dari Imam Musba dan
Prawirokusumo.
Pengaruh perlawanan Pangeran Diponegoro
sampai pantai utara Jawa. Rakyat mengangkat Pangeran Diponegoro menjadi sultan
dengan gelar Sultan Abdulhamid Herucakra Amirul Mukminin Sayidin Panatagama.
Perang Diponegoro berlangsung
bertahun-tahun, mulai tanggal 20 Juli 1825 sampai 28 Maret 1830. Siasat Perang
Diponegoro adalah gerilya. Markasnya terus berpindah-pindah, mula-mula di
Tegalrejo kemudian pindah ke Selarong, Plered, Sala, Kedu, Bagelen, Banyumas,
Tegal dan Pekalongan. Belanda mendatangkan serdadu dari negerinya untuk
mengadakan tekanan dan gerak cepat. Beberapa daerah dapat dikuasasi Belanda, yaitu
Madiun, Bojonegoro, Pati, Semarang dan Pekalongan. Bahkan,
Belanda terus-menerus mengadakan tekanan
agar pasukan Pangeran Diponegoro keluar dari Yogyakarta dan Surakarta. Siasat
Belanda adalah siasat Benteng (Benteng Stelsel). Akibatnya, daerah gerilya
semakin sempit dan tidak dapat bergerak.
Pada tahun 1829, Kiai Maja tertangkap
oleh Belanda, kemudian diasingkan ke Manado. Sebulan kemudian, Sentot Alibasya
justru menyerah kepada Belanda. Ia dikirim ke Sumatera untuk memerangi Imam
Bonjol dalam Perang Padri. Akhirnya, ia wafat di Bengkulu. Walaupun sudah
ditinggalkan oleh para pembantunya, Pangeran Diponegoro terus berjuang
Panglima tentara Belanda, Jenderal de
Kock meminta agar Pangeran Diponegoro mau melakukan perundingan dengan menjamin
keselamatannya. Perundingan dilakukan di Magelang, namun Jenderal de Kock
mengingkari janjinya. Secara tiba-tiba seluruh pengikut Pangeran Diponegoro
dilucuti senjatanya dan Pangeran Diponegoro ditangkap. Dari Magelang, Pangeran
Diponegoro dibawa ke Semarang dengan kapal kemudian ke Batavia. Dari Batavia,
Pangeran Diponegoro dibawa ke Manado (1830), kemudian dipindahkan ke
Ujungpandang (1834). Beliau ditahan di Fort Rotterdam (benteng Makassar).
Setelah ditahan selama 24 tahun oleh Belanda, pada tanggal 18 Januari 1855
beliau wafat dan dimakamkan di Kota Ujungpandang.
Perlawanan Pangeran Diponegoro ini
ternyata mempunyai pengaruh yang sangat besar dan luas. Bagi Belanda, Perang
Diponegoro telah menelan korban yang cukup besar, yaitu telah kehilangan 8.000
orang Eropa dan 7.000 orang pribumi serta menelan biaya yang tinggi, yaitu 20 juta
gulden.
4.
Pangeran
Antasari
Mulai abad ke-17, VOC telah melakukan
hubungan dagang dengan rakyat Banjarmasin. Antara lain jual beli rotan, intan,
emas dan lada. Bahkan, pada saat Sultan Rahmatullah berkuasa, VOC diberi izin
mendirikan kantor dagang. Namun, ketika VOC menerapkan sistem monopoli, rakyat
Banjarmasin melakukan reaksi penolakan. Akhirnya, VOC menyingkir dari Banjarmasin.
Sultan Tahmiditillah II bersengketa dengan Pangeran Amir, lalu Belanda
mengambil kesempatan. Belanda memihak kepada Sultan Tahmiditillah II, Pangeran
Amir berhasil ditangkap dan diasingkan ke Sailan. Berkat bantuannya itu,
Belanda mendapat daerah Pagatan, Pasir, Kotawaringin, dan lainnya. Akhirnya,
Banjar dikuasai Belanda sejak tahun 1636.
Pada tahun 1816, Belanda menerima
kembali kekuasannya dari Inggris. Dengan segera Belanda mengadakan perjanjian
dengan kerajaan- kerajaan yang ada di wilayah Nusantara termasuk dengan
Kesultanan Banjar. Pada saat itu, Kesultanan Banjar dipegang oleh Sultan Adam
(1825- 1857).
Pada tahun 1826, Belanda berhasil
menguasai Kesultanan Banjar. Oleh karena itu, Pangeran Antasari meninggalkan
keraton (pasirapan). Kemudian beliau
hidup di pedesaan bersama-sama rakyat biasa. Jadi, beliau mengetahui benar
penderitaan rakyat. Pangeran Antasari adalah putra dari Pangeran Mashud dan
cucu dari Pangeran Amir. Pada masa berkuasa, Sultan Adam telah mengangkat
Pangeran Abdurakhman sebagai putra mahkota. Akan tetapi, pada tahun 1852
Pangeran Abdurakhman wafat dan meninggalkan 2 orang putra, yaitu Pangeran
Tamjidillah dan Pangeran Hidayat.
Pada tahun 1857, Sultan Adam meninggal
dunia. Di dalam surat wasiatnya beliau menyatakan bahwa yang akan
menggantikannya adalah Pangeran Hidayat. Pihak Belanda melalui residennya yang
bernama Van Hengst tidak setuju. Belanda lebih menyukai Pangeran Tamjidillah
untuk menjadi sultan Banjar. Pangeran Tamjidillah sendiri tidak disukai oleh
rakyat karena tidak taat beragama, suka hidup berfoya-foya dan sangat dekat dengan
Belanda.
Pada bulan April 1859, pasukan Pangeran
Antasari menyerang pos-pos Belanda. Perlawanan rakyat bergelora dan meluas
kemana-mana. Benteng Belanda di Pangaron digempur, kemudian menguasai Muning
dan Martapura. Beliau dibantu oleh Surapati, Kiai Demang Leman, Kiai Adipati
Mangkunegara, Kiai Sultan Kara, Kiai Langlang, Haji Masrum, Haji Bayusin,
Tumanggung Singapati dan Cakrawati.
Taktik perangnya adalah siasat gerilya.
Tumanggung Surapati berhasil membakar kapal Belanda, yaitu Onrust di Sungai
Barito. Pangeran Hidayat kemudian bergabung melawan Belanda. Mengetahui
kejadian itu, Belanda segera menghapuskan Kesultanan Banjar pada tanggal 11
Juni 1860. Sambil terus melakukan penekanan, Belanda juga membujuk Pangeran
Hidayat untuk berunding. Akhirnya, Pangeran Hidayat ditangkap dan diasingkan ke
Cianjur Jawa Barat. Pangeran Antasari terus melakukan perlawanan, harapan
rakyat Banjar untuk mengangkat Pangeran Hidayat menjadi Sultan sudah hilang. Untuk
itu, rakyat mengangkat
Pangeran Antasari untuk menggantikannya.
Ia pun memperoleh gelar Panembahan Amiruddin Khalifat ul Mu’minin sebagai
pengganti Sultan Adam Walaupun sudah diangkat menjadi sultan, Pangeran Antasari
tidak mau berdiam diri di keraton. Beliau memilih tinggal di benteng-benteng
atau markas-markas pertahanan di dalam hutan belantara. Beliau terus berjuang
walaupun usianya semakin tua. Pada tanggal 11 Oktober 1862, Pangeran Antasari
wafat di Hulu Teweh (Kalimantan Selatan). Perlawanan rakyat Banjar terus
berkobar.
Walaupun akhirnya Belanda dapat menangkap
beberapa pemimpin pasukan Pangeran Antasari yang bermarkas di gua-gua, yaitu
Kiai Demang Leman dan Tumanggung Aria Pati. Tahun 1866, Haji Buyasin gugur di
medan perang. Sementara Kiai Demang Leman digantung Belanda. Putra-putra
Pangeran Antasari melanjutkan perjuangan ayahandanya, antara lain Sultan Seman
hingga meninggalnya pada tahun 1905.
5. Raja
Buleleng
Hubungan masyarakat Bali dengan bangsa
Belanda terjadi pada abad ke-17. Ketika itu, VOC sering mengadakan hubungan
dagang. Sering kali VOC berusaha untuk mengadakan perjanjian dengan raja-raja
Bali, tetapi tidak berhasil. Di Pulau Bali pada saat itu terdapat beberapa
kerajaan, antara lain Kerajaan Buleleng, Karang Asem, Klungkung, Gianjar,
Badung, Tabanan, Mengwi dan Jembrana.
Usaha Belanda untuk mengadakan
perjanjian dengan kerajaan yang ada di Bali baru berhasil pada tahun 1841.
Perjanjian itu ditandatangani oleh Raja Klungkung, Badung, Buleleng dan Karang
Asem. Dalam perjanjian itu disebutkan raja-raja Bali mengakui kekuasaan Belanda
dan mengizinkan pengibaran bendera Belanda di daerahnya.
Masalah yang menyulitkan hubungan
Belanda dengan Kerajaan Bali adalah berlakunya Hak Tawan Karang, yaitu hak Raja
Bali untuk merampas perahu yang terdampar di wilayahnya. Belanda banyak
mengalami kerugian dengan berlakunya Hak Tawan Karang tersebut. Pada tahun 1844,
di Pantai Pracak dan Sangit terjadi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda
yang terdampar. Asisten Residen Banyuwangi Ravia de Lignij datang ke Bali untuk
membuat perjanjian penghapusan Tak tawan Karang ini. Dia pun menuntut Kerajaan
Bali tunduk kepada kekuasaan Belanda.
Raja Buleleng dan patihnya menolak kedua
tuntutan itu. Apalagi Belanda menuntut ganti rugi atas kapal-kapalnya yang
dirampas. Raja Buleleng, I Gusti Ngurah Made dan patihnya I Gusti Ketut Jelantik
segera menyiapkan pasukannya beserta perlengkapan untuk menentang Belanda. Pada
tanggal 24 Juni 1846, Belanda mengirimkan ultimatum agar dalam tempo 3 x 24
jam, Raja Buleleng mengakui kekuasaan Belanda dan menghapuskan Hak Tawan
Karang. Namun hingga batas waktu tanggal 27 Juni 1846, Raja Buleleng tetap
menolak. Selain itu, Raja Karang Asem pun menentang Belanda.
Tepat tanggal 27 Juni 1846, Belanda
mengirim pasukannya dan mendarat di pantai Buleleng, bagian utara Bali.
Pertempuran berjalan sengit dan meluas sampai ke kampung-kampung dan
sawah-sawah. Belanda berhasil menekan perlawanan rakyat Bali, bahkan berhasil menduduki
benteng prajurit Bali. Belanda meneruskan penyerangannya ke Singaraja, ibu kota
Kerajaan Buleleng. Pada tanggal 29 Juni 1846, istana raja dapat diduduki
Belanda.
Raja Buleleng dan patihnya beserta
pasukannya terpaksa mundur ke Benteng Jagaraga. Jatuhnya Benteng Jagaraga
memengaruhi raja-raja yang lain untuk bersikap lemah. Pada tanggal 20 September
1906, Belanda menyerang Kerajaan Badung yang masih menggunakan Hak Tawan Karang.
Keluarga kerajaan menyambut kedatangan Belanda dengan Perang Puputan, yaitu
perang sampai tetes darah penghabisan. Akhirnya pada awal abad ke-20, seluruh
Kerajaan Bali dapat ditundukkan oleh Belanda.
6. Perlawanan
Rakyat Aceh
Perlawanan rakyat Aceh merupakan yang
terberat yang dirasakan oleh Belanda. Pada tahun 1873, Belanda mengirim
ekspedisi militer pertama ke Aceh dan mendapat perlawanan dari rakyat Aceh.
Rakyat Aceh berlindung di sekitar Mesjid Raya Aceh. Dalam pertempuran itu, pasukan
rakyat Aceh berhasil menembak Jenderal Kohler hingga tewas. Akhirnya, serangan
Belanda pertama itu tidak berhasil.112
Ekspedisi militer kedua terjadi pada
tahun 1874, dipimpin oleh Mayor Jenderal Van Swieten. Pertempuran terjadi
kembali di sekitar Mesjid Raya Aceh. Pasukan rakyat Aceh dipimpin oleh Panglima
Polim. Belanda mengarahkan serangannya ke istana. Melalui pertempuran yang
berjalan sengit, istana dapat dikuasai oleh Belanda.
Perlawanan terhadap Belanda terus terjadi
di mana-mana, antara lain:
a. perlawanan
rakyat Aceh di daerah Pidie dipimpin oleh Teungku Cik Di Tiro;
b. Teuku
Umar dengan istrinya Cut Nyak Din memimpin di Aceh bagian barat.
Walaupun istana telah direbut Belanda,
tetapi perjuangan rakyat Aceh terus berkobar. Daerah-daerah di luar kota
dikuasai sepenuhnya oleh para pejuang Aceh. Mereka dipimpin oleh para teuku
(panglima) dan teungku (ulama).
Mayor Jenderal Van Swieten diganti oleh
Jenderal Pel. Namun Jenderal Pel tewas dalam pertempuran di Tonga. Melihat
kenyataan itu,pemerintah kolonial Belanda akhirnya mengirim seorang misionaris
ahli agama Islam untuk mempelajari adat istiadat rakyat Aceh. Ia bernama Dr.
Snouck Hurgronje dengan menggunakan nama samaran Abdul Gafar. Ia meneliti
kehidupan rakyat Aceh dengan ikut berbaur ke dalamnya. Hasil penelitiannya
adalah sebagai berikut:
a. seorang
sultan tidak mempunyai kekuasaan tanpa adanya persetujuan dari bawahannya;
b. ulama
sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan hasil kerja Dr. Snouck
Hurgronje ini, Belanda menyusun kebijakan sebagai berikut:
a. melakukan
politik memecah kekuatan rakyat;
b. ulama
harus dihadapi dengan kekuatan militer;
c. dipisahkannya
kaum ulama dengan bangsawan;
d. dibukanya
kesempatan bagi anak-anak bangsawan untuk dijadikan pamong praja.
Dengan tekanan yang keras, satu per satu
pimpinan rakyat Aceh dapat ditaklukan. Baik dengan jalan ditangkap maupun
menyerahkan diri. Dengan hilangnya para pemimpin rakyat Aceh, akhirnya Aceh
dapat dikuasai oleh Belanda pada tahun 1904. Demikianlah tidak ada satu pun
rakyat atau kerajaan dan penguasa di wilayah Nusantara yang menyerah begitu
saja kepada penjajah. Mereka berjuang mempertaruhkan segala harta, masa depan,
bahkan nyawa untuk membela dan mempertahankan kedaulatan sebagai bangsa yang
merdeka.
B.
Perlawanan
pada Abad ke-20
Pada tahun 1900, di saat bangsa
Indonesia mulai terbuka dalam berpikir, maka cara perjuangan untuk merebut
kemerdekaan juga mulai menggunakan pendekatan organisasi pergerakan. Hal itu
didukung juga oleh perubahan kebijakan dari penjajah Belanda dengan mengizinkan
berdirinya sekolah pribumi.
Sejarah mencatat beberapa organisasi pergerakan
kemerdekaan yang mempengaruhi perjalanan bangsa Indonesia sampai dengan
tercapainya kemerdekaan Indonesia. Adapun organisasi pergerakan tersebut antara
lain adalah Budi Utomo, Sarekat Islam, Muhamadiyah, Gerakan Pemuda,Taman Siswa,
Gerakan Wanita, Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Gerakan Buruh. Sejarah
bangsa Indonesia mencatat beberapa tokoh bangsa dengan segala perjuangan dan
pengorbanannya. Mereka merelakan berbagai kepentingan pribadinya untuk membela
rakyat. Tokoh-tokoh tersebut antara lain sebagai berikut.
1.
Raden
Ajeng Kartini
R.A. Kartini adalah putri Bupati Jepara,
Raden Mas Ario Adipati Sostroningrat. Dilahirkan tanggal 21 April 1879 di
Mayong Kabupaten Jepara. Beliau adalah perintis kemajuan wanita Indonesia
dengan perjuangan emansipasi wanita. Beliau mempunyai cita-cita mengangkat
derajat kaum wanita agar mempunyai hak dan kecakapan yang sama dengan kaum
pria. Beliau berkeinginan untuk sekolah, namun dilarang oleh orang tuanya. Sebagai
seorang gadis, beliau harus menjalani masa pingitan sampai masa pernikahan. Hal
ini merupakan kewajiban yang harus dijalani oleh setiap perempuan pada masa itu
Kegemaran beliau adalah membaca. Dengan membaca, pikiran menjadi terbuka lebar.
R.A. Kartini dapat membandingkan kemajuan yang dicapai wanita yang ada di
negeri Barat dengan wanita di Indonesia.
Sejak saat itulah timbul niatnya untuk mendirikan
sekolah bagi kaum wanita. Bersamaan dengan itu, ayahnya meminta agar R.A. Kartini
menikah dengan Bupati Rembang yang bernama Adipati Joyodiningrat. Untung saja,
R.A. Kartini mendapat suami yang baik.
Beliau menikah dengan orang yang memahami betul keinginannya. Sebagai permulaan
dibukalah sekolah Kartini di rumahnya. Selanjutnya, bermunculan sekolah Kartini
di berbagai daerah, seperti di Semarang, Yogyakarta, Solo, Malang, Madiun,
Cilacap, dan lain-lain. Sejak masih muda, R.A. Kartini selalu melakukan
korespondensi dengan teman-temannya di negeri Belanda. Di dalam suratnya, R.A.
Kartini selalu menuliskan keinginannya untuk memajukan kaum wanita di
Indonesia. Sekarang, isi surat-suratnya itu diterbitkan dalam sebuah buku yang
berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang.
R.A. Kartini meninggal pada tanggal 17
September 1904 dalam usianya yang masih muda, yaitu 25 tahun. Sebagai
penghargaan dan penghormatan kepada beliau, setiap tanggal 21 April diperingati
sebagai hari Kartini.
2.
Dewi
Sartika
Dewi Sartika adalah putri dari Raden
Rangga Somanagara dan Raden Ayu Rajapermas. Lahir pada tanggal 4 Desember 1884 di
Cicalengka, Jawa Barat. Beliau merupakan tokoh perempuan Indonesia. Selama
hidupnya, ia berusaha memperjuangkan kemajuan kaun wanita Indonesia agar
memiliki kedudukan dan derajat yang sama dengan kaum pria. Sejak itulah, beliau
bercita-cita ingin mendirikan sekolah perempuan. Gambar 2.8 R.A. Kartini Sumber:
Ensiklopedi Nasional Indonesia115 Peranan Tokoh Pejuang dan Masyarakat dalam
Mempersiapkan dan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
Akhirnya, cita-cita tersebut dapat dicapai
pada usia ke-18 tahun. Tepatnya dengan didirikan Sakola Istri (sekolah perempuan) pada tanggal 16 Januari
1904. Pada tahun 1910, sekolah ini
berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri. Gerakan yang dilakukan beliau diikuti oleh tokoh-tokoh
lain di Jawa Barat dan Sumatera.
3.
Ki
Hajar Dewantara
Nama lain dari beliau adalah Suwardi
Suryaningrat. Lahir tanggal 2 Mei 1889 dan dibesarkan di lingkungan keluarga
bangsawan Yogyakarta. Bersama dengan Douwes Dekker dan Dr. Cipto Mangunkusumo,
beliau mendirikan Indische Partij. Beliau pernah dibuang ke negeri Belanda pada
tahun 1913 selama 6 tahun. Pada saat itulah beliau banyak mempelajari
masalah-masalah pendidikan. Setelah partainya mengalami kemunduran, alat perjuangan
beliau adalah melalui jalur pendidikan. Menurutnya, kemunduran, kemerosotan,
dan ketertinggalan rakyat Indonesia adalah masalah pendidikan yang belum
ditangani dengan baik.
Pada tahun 1922, beliau mendirikan Taman
Siswa. Sekolah itu untuk mendidik penduduk supaya menjadi warga negara yang mempunyai
derajat dan semangat kebangsaan. Semboyan dari Ki Hajar Dewantara adalah Ing Ngarso Sung Tulodo Ing Madya Mangun Karso
Tut Wuri Handayani. Jerih payah perjuangan beliau sangat dirasakan sekali oleh
rakyat Indonesia dari saat memasuki masa kemerdekaan sampai sekarang.
4.
Douwes
Dekker
Beliau mempunyai nama panggilan
Danudirdja Setiabudhi. Seorang Indo keturunan campuran antara Belanda
Indonesia. Dilahirkan tanggal 8 Oktober 1879 di Pasuruan, Jawa Timur. Pada usia
18 tahun, beliau mulai bekerja menjadi pegawai perkebunan. Sering terjadi
perselisihan paham dengan atasannya yang lebih banyak membela pemerintah Hindia
Belanda. Sementara Douwes Dekker sendiri ingin membela kepentingan buruh
pribumi. Setelah keluar dari pekerjaannya, beliau menjadi wartawan dan pimpinan
redaksi surat kabar De Express dan Het Tijdchrift. Melalui media tersebut,
beliau menyerukan kaum Indo dan kaum pribumi untuk bersatu bersama-sama
menentang penjajahan Belanda. Pada tanggal 25 Desember 1912, ia bersama
teman-temannya, yaitu Dr. Cipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara mendirikan partai
politik yang bernama Indische Partij. Akan tetapi sangat disayangkan, beliau
dianggap membahayakan pemerintah colonial Belanda. Beliau dibuang dengan tokoh
organisasi lainnya. Beliau meninggal di Bandung pada tahun 1949
5.
Haji
Samanhudi
Beliau mempunyai nama panggilan
Danudirdja Setiabudhi. Seorang Indo keturunan campuran antara Belanda
Indonesia. Dilahirkan tanggal 8 Oktober 1879 di Pasuruan, Jawa Timur. Pada usia
18 tahun, beliau mulai bekerja menjadi pegawai perkebunan. Sering terjadi
perselisihan paham dengan atasannya yang lebih banyak membela pemerintah Hindia
Belanda. Sementara Douwes Dekker sendiri ingin membela kepentingan buruh
pribumi. Setelah keluar dari pekerjaannya, beliau menjadi wartawan dan pimpinan
redaksi surat kabar De Express dan Het Tijdchrift. Melalui media tersebut,
beliau menyerukan kaum Indo dan kaum pribumi untuk bersatu bersama-sama
menentang penjajahan Belanda.
Pada tanggal 25 Desember 1912, ia
bersama teman-temannya, yaitu Dr. Cipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara
mendirikan partai politik yang bernama Indische Partij. Akan tetapi sangat disayangkan,
beliau dianggap membahayakan pemerintah colonial Belanda. Beliau dibuang dengan
tokoh organisasi lainnya. Beliau meninggal di Bandung pada tahun 1949 Melihat
keadaan yang demikian, Haji Samanhudi menghimpun kekuatan di bidang perdagangan
dan agama. Pada tahun 1911, beliau mendirikan Serikat Dagang Islam (SDI) di
Kota Solo. Anggota awalnya hanya terdiri atas pedagang batik di Solo saja. Lahirnya
SDI mendapat sambutan yang luas. Dalam waktu yang sangat singkat cabang-cabang
SDI muncul di berbagai tempat di luar Kota Solo. Pada tanggal 10 September
1912, nama Serikat Dagang Islam dirubah menjadi Serikat Islam (SI). Haji
Samanhudi diangkat menjadi ketuanya sampai tahun 1914. Sesudah itu, SI dipimpin
oleh Haji Oemar Said Cokroaminoto.
Sejak tahun 1920, beliau tidak aktif
lagi di dalam kegiatan partai karena kesehatannya sering terganggu. Namun
perhatiannya terhadap perjuangan pergerakan nasional tidak pernah surut. Beliau
meninggal pada tanggal 28 Desember 1956 di Klaten dan dimakamkan di Desa
Banaran Kecamatan Grogol Sukoharjo Jawa Tengah
6. Muhammad
Husni Thamrin
Dilahirkan
di Jakarta tanggal 16 Februari 1894. Setelah tamat dari HBS (setingkat SMP),
beliau bekerja pada pemerintahan Belanda. Beliau sangat memerhatikan kemajuan
masyarakat Betawi (Jakarta) khususnya dan bangsa Indonesia umumnya. Pada tahun
1919, beliau menjadi anggota Dewan Kota Batavia (Jakarta). Di Dewan Kota, ia
banyak menyuarakan kemajuan bagi bangsa Indonesia. Karena kemampuannya, beliau
diangkat menjadi wakil wali kota, namun tidak menyurutkan kecamannya terhadap
penjajah Belanda yang menindas bangsa Indonesia. Tahun 1927, beliau diangkat
menjadi anggota Volstraad (DPR) dan membentuk fraksi nasionalis untuk
memperkuat golongan nasionalis. Sebagai wakil rakyat, beliau bersama Kusumo
Utomo mengadakan peninjauan ke Sumatra untuk meninjau nasib buruh perkebunan
yang sangat menderita. Kegiatannya di Partai Indonesia Raya (Parindra)
menjadikan beliau dicurigai oleh Belanda.
Pada tahun 1939, beliau mengajukan mosi
agar istilah Nederlands Indie diganti menjadi istilah Indonesia. Sebagai
akibatnya, Belanda mengenakan tahanan rumah pada tanggal 6 Januari 1941. Beliau
meninggal dunia karena sakit pada tanggal 11 Januari 1941 dan dimakamkan di
pemakaman Karet, Jakarta.
7. Otto
Iskandardinata
Dilahirkan
di Kota Bandung tanggal 31 Maret 1897. Pada masa Belanda beliau menamatkan
pendidikan di sekolah guru. Kemudian menjadi guru SMA di Purworejo dan
Banjarnegara, aktif di dalam organisasi Budi Utomo di Pekalongan dan menjadi
wakil ketua Budi Utomo Pekalongan juga
menjadi anggota Dewan Kota. Di lembaga inilah beliau mengkritik Belanda yang
mengakibatkan penderitaan bagi rakyat. Oleh karena itu, beliau berselisih paham
bahkan sampai bertengkar hebat dengan Residen Pekalongan pada waktu itu. Otto
Iskandardinata pindah ke Jakarta dan mengajar di Perguruan Tinggi Muhamadiyah.
Ia aktif pula dalam kepengurusan Paguyuban Pasundan cabang Jakarta. Berkat usahanya,
Paguyuban Pasundan banyak mendirikan sekolah.
Akhirnya. beliau terpilih menjadi wakil rakyat dalam Volstraad. Pada
bulan Oktober 1945, beliau diculik oleh sekelompok pengkhianat bangsa. Beliau
tewas dibunuh di daerah Mauk Banten tanggal 20 Desember 1945, makamnya kemudian
dipindahkan ke Bandung
SOAL
1. Bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Indonesia
adalah ....
aa. Portugis
bb. Belanda
cc. Spanyol
dd. Inggris
2. VOC mempunyai hak dagang khusus yang disebut ....
a.Otonomi
b. Oktro Coi
c. Oktori
d.Octroi
3. Tujuan pertama bangsa Belanda datang ke Indonesia
adalah ... .
a. menanamkan modal
b.mendidik penduduk pribumi
c.memajukan pertanian
d.mencari rempah-rempah
4. Belanda berhasil menguasai Nusantara dengan politik, kecuali ....
a. adu domba
b.gerilya
c.devide et empera
d.pecah belah
5. Gubernur Jendral Belanda yang kejam, yang menggerakkan
pembuatan jalan Anyer-Panarukan adalah ....
a.JP. Coen
b. Pieter Both
c. Yansens
d.Daendels
6.Tokoh-tokoh yang berperan dalam melawan Penjajahan
Belanda, kecuali ……….
a. Pangeran Diponegoro
b. Sultan Agung Tirtayasa
c. J.P Coen
d. Teuku Umar
7. gugurnya Sisingamangaraja XII pada tanggal 17 Juni
1907 pasukan Belanda berada dibawah pimpinan…
a. J.P Coen
b. Kapten Chirtofe
c. Daendels
d. Douwes Dekker
a. Pattimura
b. Imam Bonjol
c. Sultan Hasanudin
d. Pangeran Diponegoro
9. Diponegoro ditangkap ketika berunding dengan Belanda
di ... .
a. Goa Selarong
b. Imogiri
c. Tegalrejo
d.Magelang
10. Raja Mataram yang menyerang VOC di Batavia, adalah ... .
a. Sultan Agung
b. Untung Suropati
c. Sultan Ageng Tirtayasa
d. Pangeran Diponengoro
KUNCI
JAWABAN LEMBAR PENILAIAN / PEMBAHASAN
1. A
2. D
3. D
4. B
5. D
6. C
7. B
8. C
9. D
10. A
Masa
Penjajahan Belanda
Kedatangan bangsa Belanda ke tanah Nusantara dimulai pada tahun 1596.
Mereka ingin melakukan hubungan dagang dengan penduduk yang ada di wilayah
Nusantara. Untuk pertama kalinya beberapa kapal Belanda singgah di Pelabuhan
Banten. Lama kelamaan, kapal dagang Belanda yang datang semakin bertambah.
Untuk mencegah adanya persaingan yang tidak sehat di antara pedagang
Belanda dan pedagang asing lainnya (khususnya Portugis dan Spanyol), maka para
pedagang Belanda mendirikan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC,
yaitu kongsi atau perserikatan perdagangan Belanda yang ada di wilayah
Nusantara. VOC didirikan pada tahun 1602 dan dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal
yang bernama Pieter Both. Akan tetapi, pada tanggal 31 Desember 1799 VOC
dibubarkan.
Kedatangan bangsa asing ke wilayah Nusantara pada awalnya disambut
dengan gembira oleh rakyat Indonesia. Mereka semua dating dengan tujuan
melakukan perniagaan, yaitu jual beli rempah-rempah yang memang sangat
dibutuhkan oleh bangsa Eropa. Akan tetapi karena keangkuhan dan keserakahannya,
bangsa Eropa menerapkan system monopoli.
Pada saat
sistem ini diterapkan, mulailah ada reaksi dari rakyat Indonesia. Apalagi
setelah mereka menerapkan sistem kolonial. Rakyat Indonesia bukan saja bereaksi,
tetapi juga mengadakan perlawanan bersenjata. Adapun perlawanan rakyat
Indonesia dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang, antara lain sebagai berikut.
A.
Perlawanan
pada Abad ke-17 dan Abad ke-18
1. Thomas
Matulessy (Pattimura) di Maluku
Rakyat Maluku telah lama mengalami
penindasan dari bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda sejak abad ke-16. Rakyat
Maluku sadar betul apa makna penjajahan yang selama ini dialaminya. Betapa hebatnya
penderitaan rakyat Maluku ketika masa Pelayaran Hongi. Rakyat Maluku semakin gelisah
ketika adanya paksaan untuk menjadi serdadu (tentara) Belanda yang akan
dikirimkan ke Pulau Jawa. Kesabaran rakyat Maluku telah habis. Mereka pun segera
berencana untuk melancarkan perlawanan.
Pada
tanggal 3 Mei 1817, ratusan pemuda dari Haria mengadakan pertemuan di dalam
hutan yang terletak antara negeri Tiow dan negeri Paperu. Pertemuan itu
memutuskan untuk menyerang dan menyerbu Benteng Duurstede di Pantai Saparua
yang merupakan lambing penjajahan Belanda. Pertemuan itu juga memutuskan untuk
mengajak seluruh rakyat Maluku untuk melawan penjajahan Belanda.
Rakyat Maluku bangkit menentang Belanda
pada tanggal 16 Mei 1817 di bawah pimpinan Pattimura. Beliau adalah seorang
Kristen yang taat, pandai dan cekatan. Dilahirkan pada tanggal 8 Juni 1783
dengana nama Thomas Matulessy. Ia pernah menjadi tentara Inggris dengan pangkat
sersan mayor. Kemudian ia terkenal dengan sebutan Kapitan Pattimura. Di dalam
pertempuran itu semua penghuni benteng mati terbunuh. Benteng dihancurkan,
bahkan Residen Belanda yang bernama Van den Berg tewas dalam peristiwa itu. Kemudian
Belanda mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Mayor Beetjes. Begitu pasukan
bantuan itu mendarat di Muara Sungai Waisisil, langsung dipukul mundur oleh
Pattimura. Mayor Beetjes tewas dalam pertempuran tersebut. Pasukan Belanda
lainnya yang dipimpin Overste Meyer dan Laksamana Buykes juga dapat dipukul
mundur.
Raja-raja kecil di Maluku turut membantu
perjuangan Pattimura, seperti Raja Lha, Nolot, Tuhaja, Itawaku dan Ihamaku.
Selain itu juga Pattimura dibantu oleh Philip Latumahimma dan seorang putri
raja Maluku yang bernama Martha Khristina Tiahahu yang berusia 18 tahun.
Belanda merasa kewalahan dengan
perlawanan dari pasukan Pattimura ini. Lalu, Belanda mengajak Pattimura untuk
berunding, namun ditolaknya dengan tegas. Belanda semakin meningkatkan
serangannya untuk mendesak Pattimura. Akibatnya beberapa pimpinan pasukan Pattimura
dapat ditangkap. Pattimura juga akhirnya dapat ditangkap, beliau dijatuhi
hukuman mati dengan cara digantung di depan Benteng Viktoria pada tanggtal 16
Desember 1817. Penangkapan Pattimura disebabkan adanya pengkhianatan dari Raja
Boi. Ia menunjukkan tempat pertahanan Pattimura kepada Belanda.
Begitu juga dengan Raja Paulus Tiahahu,
ayah Martha Khristina Tiahahu ditembak mati di hadapan rakyatnya. Martha
Khristina Tiahahu sendiri diasingkan ke Pulau Jawa, namun sebelum sampai di
Pulau Jawa beliau wafat, yaitu pada tanggal 2 Januari 1818.
2.
Tuanku
Imam Bonjol
Tuanku Iman Bonjol adalah pemimpin
Perang Padri tahun 1821-1837. Penyebab timbulnya Perang Padri adalah adanya
pertentangan antara kaum adat dengan kaum Islam (ulama). Kaum adat terdiri atas
raja dan para pengikutnya, sebagian besar masyarakat Minangkabau dikuasai oleh
kaum adat. Perbuatan dan adat kebiasaan para penghulu adat sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Seperti kebiasaan
hidup mewah, berjudi, minum minuman keras dan menyambung ayam. Sikap hidup yang
demikian menimbulkan kerawanan sosial. Di dalam masyarakat, sering terjadi pencurian, perampokan serta menimbulkan
kegelisahan masyarakat. Akibat yang lebih jauh lagi adalah membawa kemelaratan
terhadap rakyat.
Pada awal abad ke-19 terjadi perubahan.
Pada saat itu mulai banyak orang Minangkabau yang pergi menunaikan ibadah haji.
Selama menunaikan rukun Islam ke-5 itu. Di tanah suci Arab sedang
terjadi gerakan Wahabi, yaitu gerakan yang menghendaki agar ajaran Islam
dilaksanakan secara murni sesuai dengan Alquran dan Hadis Rosul. Sepulangnya
dari haji, orang Minangkabau menyebarkan ajaran Wahabi tersebut. Para pengikutnya
disebut Kaum Padri.
Kaum Padri menentang kebiasaan dan adat
istiadat yang merusak masyarakat, terutama yang bertentangan dengan ajaran
Islam. Pimpinan kaum Padri adalah Peta Syarif. Beliau dikenal dengan nama Iman
Bonjol atau Tuanku Imam Malim Besar. Beliau dilahirkan pada tahun 1772 di Tanjung
Bunga Pasaman, Sumatera Barat. Iman Bonjol mewajibkan pengikutnya memakai
pakaian dan sorban putih. Oleh karena itu, mereka disebut kaum Putih.
Perbedaan antara kedua kaum itu
menimbulkan permusuhan yang akhirnya meningkat menjadi perang saudara. Perang
saudara ini menjadi meningkat setelah kekuasaan asing campur tangan. Belanda memanfaatkan
pertentangan yang sedang terjadi di Minangkabau saat itu. Pada tanggal 10
Februari 1821, Belanda mengadakan perjanjian antara kaum adat dengan Gubernur
Jenderal Belanda. Atas dasar perjanjian itulah beberapa daerah dikuasai oleh
Belanda. Mereka pun bersiap-siap untuk menghadapi kaum Padri.
Kaum Padri mengetahui rencana tersebut,
mereka segera membuat benteng yang besar dan luas di daerah Bonjol. Akhirnya,
Belanda menyerang kaum Padri dengan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Raaf. Pertempuran
dasyat pun tak bisa dihindarkan lagi.
Tuanku Imam Bonjol menyambut Belanda
dengan perlawanan yang gigih. Imam Bonjol dibantu oleh sejumlah ulama dan
penghulu yang memihak kepadanya, seperti Tuanku Nan Renceh, Haji Miskin, Haji Piabang
dan Haji Sumanik. Belanda mendirikan benteng di Bukittinggi dan Batusangkar.
Walaupun demikian, Belanda tidak dapat mengalahkan pasukan kaum Padri. Dalam
pertempuran itu, Tuanku Nan Renceh gugur dan menjadi pahlawan bangsa.
Pada tahun 1825, di Pulau Jawa sedang
terjadi Perang Diponegoro. Belanda menghadapi kesulitan. Mereka harus
mengerahkan kekuatan militernya ke Pulau Jawa. Oleh karena itu, Belanda bermaksud
mengadakan perjanjian damai dengan Imam Bonjol.
Pada tanggal 29 Oktober 1825, Belanda
berhasil mengadakan perjanjian damai dengan kaum Padri yang terkenal dengan
Perjanjian Padang. Isi perjanjian tersebut adalah “Kedua belah pihak sepakat mengadakan gencatan
senjata.” Setelah perjanjian itu, selama 4 tahun tanah Minangkabau aman, tidak
ada peperangan antara kaum Padri dengan Belanda.
Ketika Perang Diponegoro selesai pada
tahun 1830, pasukan Belanda dialihkan untuk menyerang Imam Bonjol. Pada pertengahan
tahun 1832, Belanda mengirimkan pasukannya ke Sumatera Barat. Benteng Padri
yang kuat itu pun berhasil direbut Belanda. Namun, pada tahun 1833 benteng itu
dapat direbut kembali oleh pasukan Imam Bonjol dari tangan Belanda.
Belanda terus berusaha menundukkan Iman
Bonjol. Kini, Belanda menggunakan siasat Benteng. Pasukan Belanda yang dipimpin
Jenderal Michiels. Ketika itu, kaum Padri sudah bersatu dengan kaum adat untuk bersama-sama
melawan Belanda.
Walaupun senjata pasukan Belanda lengkap
dan banyak, tetapi mereka baru berhasil menguasai benteng Bonjol pada bulan
Oktober 1837. Imam Bonjol berhasil ditangkap Belanda pada tanggal 25 Oktober
1837. Pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol dipindahkan ke Ambon
Maluku. Kemudian pada tahun 1841, dipindahkan ke Manado di Sulawesi Utara. Pada
tanggal 6 November 1864, beliau wafat dalam usia 92 tahun. Dimakamkan di
kampung Pineleng dekat Kota Manado.
3. Pangeran
Diponegoro
Pangeran
Diponegoro semasa kecilnya bernama Ontowiryo. Dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal
11 November 1785. Beliau adalah putra Sultan Hamengku Buwono III. Beliau
mendapat pendidikan agama Islam, keprajuritan dan kepahlawanan. Juga budi
pekerti, cinta kepada sesama manusia, cinta bangsa dan cinta tanah air.
Berkat pendidikan nenek buyutnya,
Pangeran Diponegoro menyadari benar bahwa kemerosotan bangsa dan negaranya
adalah akibat adanya penjajahan Belanda. Alasan lain yang mendorong Pangeran
Diponegoro melakukan perlawanan terhadap Belanda sangatlah banyak. Kerajaan Mataram
yang demikian besarnya pecah menjadi 4 kerajaan kecil akibat campur tangan
Belanda, yaitu Kerajaan Yogyakarta, Kerajaan Surakarta, Kerajaan Paku Alam, dan
Kerajaan Mangkunegaraan. Bahkan Patih Kerajaan Yogyakarta yang bernama Danureja
IV mendukung penjajahan Belanda. Ia turut serta memeras rakyat.
Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro
tidak menyukai terhadap patih kerajaan tersebut. Kemarahan Pangeran Diponegoro
terhadap Belanda memuncak ketika Patih Danureja IV, suruhan Daendels memasang tonggak-tonggak
di atas tanah milik Pangeran Diponegoro di Tegalejo. Hal itu dilakukan tanpa
seizin Pangeran Diponegoro terlebih dahulu.
Pada tanggal 20 Juli 1825, pasukan
Belanda melakukan serangan ke Tegalrejo. Hal ini membangkitkan perlawanan
Pangeran Diponegoro. Daerah Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Kedu dan Banyumas
juga ikut berontak. Kedu dijadikan pusat perlawanan dan pemerintahan Pangeran Diponegoro.
Markas besarnya terletak di Gunung Manoreh.
Perlawanan Diponegoro dibantu pula oleh
teman-temannya. Pangeran Mangkubumi dan Kiai Maja sebagai penasehat. Pangeran Ngabehi
Jayakusuma dan Sentot Alibasya
Prawirodirjo sebagai panglima perang. Ada pula bantuan dari Imam Musba dan
Prawirokusumo.
Pengaruh perlawanan Pangeran Diponegoro
sampai pantai utara Jawa. Rakyat mengangkat Pangeran Diponegoro menjadi sultan
dengan gelar Sultan Abdulhamid Herucakra Amirul Mukminin Sayidin Panatagama.
Perang Diponegoro berlangsung
bertahun-tahun, mulai tanggal 20 Juli 1825 sampai 28 Maret 1830. Siasat Perang
Diponegoro adalah gerilya. Markasnya terus berpindah-pindah, mula-mula di
Tegalrejo kemudian pindah ke Selarong, Plered, Sala, Kedu, Bagelen, Banyumas,
Tegal dan Pekalongan. Belanda mendatangkan serdadu dari negerinya untuk
mengadakan tekanan dan gerak cepat. Beberapa daerah dapat dikuasasi Belanda, yaitu
Madiun, Bojonegoro, Pati, Semarang dan Pekalongan. Bahkan,
Belanda terus-menerus mengadakan tekanan
agar pasukan Pangeran Diponegoro keluar dari Yogyakarta dan Surakarta. Siasat
Belanda adalah siasat Benteng (Benteng Stelsel). Akibatnya, daerah gerilya
semakin sempit dan tidak dapat bergerak.
Pada tahun 1829, Kiai Maja tertangkap
oleh Belanda, kemudian diasingkan ke Manado. Sebulan kemudian, Sentot Alibasya
justru menyerah kepada Belanda. Ia dikirim ke Sumatera untuk memerangi Imam
Bonjol dalam Perang Padri. Akhirnya, ia wafat di Bengkulu. Walaupun sudah
ditinggalkan oleh para pembantunya, Pangeran Diponegoro terus berjuang
Panglima tentara Belanda, Jenderal de
Kock meminta agar Pangeran Diponegoro mau melakukan perundingan dengan menjamin
keselamatannya. Perundingan dilakukan di Magelang, namun Jenderal de Kock
mengingkari janjinya. Secara tiba-tiba seluruh pengikut Pangeran Diponegoro
dilucuti senjatanya dan Pangeran Diponegoro ditangkap. Dari Magelang, Pangeran
Diponegoro dibawa ke Semarang dengan kapal kemudian ke Batavia. Dari Batavia,
Pangeran Diponegoro dibawa ke Manado (1830), kemudian dipindahkan ke
Ujungpandang (1834). Beliau ditahan di Fort Rotterdam (benteng Makassar).
Setelah ditahan selama 24 tahun oleh Belanda, pada tanggal 18 Januari 1855
beliau wafat dan dimakamkan di Kota Ujungpandang.
Perlawanan Pangeran Diponegoro ini
ternyata mempunyai pengaruh yang sangat besar dan luas. Bagi Belanda, Perang
Diponegoro telah menelan korban yang cukup besar, yaitu telah kehilangan 8.000
orang Eropa dan 7.000 orang pribumi serta menelan biaya yang tinggi, yaitu 20 juta
gulden.
4.
Pangeran
Antasari
Mulai abad ke-17, VOC telah melakukan
hubungan dagang dengan rakyat Banjarmasin. Antara lain jual beli rotan, intan,
emas dan lada. Bahkan, pada saat Sultan Rahmatullah berkuasa, VOC diberi izin
mendirikan kantor dagang. Namun, ketika VOC menerapkan sistem monopoli, rakyat
Banjarmasin melakukan reaksi penolakan. Akhirnya, VOC menyingkir dari Banjarmasin.
Sultan Tahmiditillah II bersengketa dengan Pangeran Amir, lalu Belanda
mengambil kesempatan. Belanda memihak kepada Sultan Tahmiditillah II, Pangeran
Amir berhasil ditangkap dan diasingkan ke Sailan. Berkat bantuannya itu,
Belanda mendapat daerah Pagatan, Pasir, Kotawaringin, dan lainnya. Akhirnya,
Banjar dikuasai Belanda sejak tahun 1636.
Pada tahun 1816, Belanda menerima
kembali kekuasannya dari Inggris. Dengan segera Belanda mengadakan perjanjian
dengan kerajaan- kerajaan yang ada di wilayah Nusantara termasuk dengan
Kesultanan Banjar. Pada saat itu, Kesultanan Banjar dipegang oleh Sultan Adam
(1825- 1857).
Pada tahun 1826, Belanda berhasil
menguasai Kesultanan Banjar. Oleh karena itu, Pangeran Antasari meninggalkan
keraton (pasirapan). Kemudian beliau
hidup di pedesaan bersama-sama rakyat biasa. Jadi, beliau mengetahui benar
penderitaan rakyat. Pangeran Antasari adalah putra dari Pangeran Mashud dan
cucu dari Pangeran Amir. Pada masa berkuasa, Sultan Adam telah mengangkat
Pangeran Abdurakhman sebagai putra mahkota. Akan tetapi, pada tahun 1852
Pangeran Abdurakhman wafat dan meninggalkan 2 orang putra, yaitu Pangeran
Tamjidillah dan Pangeran Hidayat.
Pada tahun 1857, Sultan Adam meninggal
dunia. Di dalam surat wasiatnya beliau menyatakan bahwa yang akan
menggantikannya adalah Pangeran Hidayat. Pihak Belanda melalui residennya yang
bernama Van Hengst tidak setuju. Belanda lebih menyukai Pangeran Tamjidillah
untuk menjadi sultan Banjar. Pangeran Tamjidillah sendiri tidak disukai oleh
rakyat karena tidak taat beragama, suka hidup berfoya-foya dan sangat dekat dengan
Belanda.
Pada bulan April 1859, pasukan Pangeran
Antasari menyerang pos-pos Belanda. Perlawanan rakyat bergelora dan meluas
kemana-mana. Benteng Belanda di Pangaron digempur, kemudian menguasai Muning
dan Martapura. Beliau dibantu oleh Surapati, Kiai Demang Leman, Kiai Adipati
Mangkunegara, Kiai Sultan Kara, Kiai Langlang, Haji Masrum, Haji Bayusin,
Tumanggung Singapati dan Cakrawati.
Taktik perangnya adalah siasat gerilya.
Tumanggung Surapati berhasil membakar kapal Belanda, yaitu Onrust di Sungai
Barito. Pangeran Hidayat kemudian bergabung melawan Belanda. Mengetahui
kejadian itu, Belanda segera menghapuskan Kesultanan Banjar pada tanggal 11
Juni 1860. Sambil terus melakukan penekanan, Belanda juga membujuk Pangeran
Hidayat untuk berunding. Akhirnya, Pangeran Hidayat ditangkap dan diasingkan ke
Cianjur Jawa Barat. Pangeran Antasari terus melakukan perlawanan, harapan
rakyat Banjar untuk mengangkat Pangeran Hidayat menjadi Sultan sudah hilang. Untuk
itu, rakyat mengangkat
Pangeran Antasari untuk menggantikannya.
Ia pun memperoleh gelar Panembahan Amiruddin Khalifat ul Mu’minin sebagai
pengganti Sultan Adam Walaupun sudah diangkat menjadi sultan, Pangeran Antasari
tidak mau berdiam diri di keraton. Beliau memilih tinggal di benteng-benteng
atau markas-markas pertahanan di dalam hutan belantara. Beliau terus berjuang
walaupun usianya semakin tua. Pada tanggal 11 Oktober 1862, Pangeran Antasari
wafat di Hulu Teweh (Kalimantan Selatan). Perlawanan rakyat Banjar terus
berkobar.
Walaupun akhirnya Belanda dapat menangkap
beberapa pemimpin pasukan Pangeran Antasari yang bermarkas di gua-gua, yaitu
Kiai Demang Leman dan Tumanggung Aria Pati. Tahun 1866, Haji Buyasin gugur di
medan perang. Sementara Kiai Demang Leman digantung Belanda. Putra-putra
Pangeran Antasari melanjutkan perjuangan ayahandanya, antara lain Sultan Seman
hingga meninggalnya pada tahun 1905.
5. Raja
Buleleng
Hubungan masyarakat Bali dengan bangsa
Belanda terjadi pada abad ke-17. Ketika itu, VOC sering mengadakan hubungan
dagang. Sering kali VOC berusaha untuk mengadakan perjanjian dengan raja-raja
Bali, tetapi tidak berhasil. Di Pulau Bali pada saat itu terdapat beberapa
kerajaan, antara lain Kerajaan Buleleng, Karang Asem, Klungkung, Gianjar,
Badung, Tabanan, Mengwi dan Jembrana.
Usaha Belanda untuk mengadakan
perjanjian dengan kerajaan yang ada di Bali baru berhasil pada tahun 1841.
Perjanjian itu ditandatangani oleh Raja Klungkung, Badung, Buleleng dan Karang
Asem. Dalam perjanjian itu disebutkan raja-raja Bali mengakui kekuasaan Belanda
dan mengizinkan pengibaran bendera Belanda di daerahnya.
Masalah yang menyulitkan hubungan
Belanda dengan Kerajaan Bali adalah berlakunya Hak Tawan Karang, yaitu hak Raja
Bali untuk merampas perahu yang terdampar di wilayahnya. Belanda banyak
mengalami kerugian dengan berlakunya Hak Tawan Karang tersebut. Pada tahun 1844,
di Pantai Pracak dan Sangit terjadi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda
yang terdampar. Asisten Residen Banyuwangi Ravia de Lignij datang ke Bali untuk
membuat perjanjian penghapusan Tak tawan Karang ini. Dia pun menuntut Kerajaan
Bali tunduk kepada kekuasaan Belanda.
Raja Buleleng dan patihnya menolak kedua
tuntutan itu. Apalagi Belanda menuntut ganti rugi atas kapal-kapalnya yang
dirampas. Raja Buleleng, I Gusti Ngurah Made dan patihnya I Gusti Ketut Jelantik
segera menyiapkan pasukannya beserta perlengkapan untuk menentang Belanda. Pada
tanggal 24 Juni 1846, Belanda mengirimkan ultimatum agar dalam tempo 3 x 24
jam, Raja Buleleng mengakui kekuasaan Belanda dan menghapuskan Hak Tawan
Karang. Namun hingga batas waktu tanggal 27 Juni 1846, Raja Buleleng tetap
menolak. Selain itu, Raja Karang Asem pun menentang Belanda.
Tepat tanggal 27 Juni 1846, Belanda
mengirim pasukannya dan mendarat di pantai Buleleng, bagian utara Bali.
Pertempuran berjalan sengit dan meluas sampai ke kampung-kampung dan
sawah-sawah. Belanda berhasil menekan perlawanan rakyat Bali, bahkan berhasil menduduki
benteng prajurit Bali. Belanda meneruskan penyerangannya ke Singaraja, ibu kota
Kerajaan Buleleng. Pada tanggal 29 Juni 1846, istana raja dapat diduduki
Belanda.
Raja Buleleng dan patihnya beserta
pasukannya terpaksa mundur ke Benteng Jagaraga. Jatuhnya Benteng Jagaraga
memengaruhi raja-raja yang lain untuk bersikap lemah. Pada tanggal 20 September
1906, Belanda menyerang Kerajaan Badung yang masih menggunakan Hak Tawan Karang.
Keluarga kerajaan menyambut kedatangan Belanda dengan Perang Puputan, yaitu
perang sampai tetes darah penghabisan. Akhirnya pada awal abad ke-20, seluruh
Kerajaan Bali dapat ditundukkan oleh Belanda.
6. Perlawanan
Rakyat Aceh
Perlawanan rakyat Aceh merupakan yang
terberat yang dirasakan oleh Belanda. Pada tahun 1873, Belanda mengirim
ekspedisi militer pertama ke Aceh dan mendapat perlawanan dari rakyat Aceh.
Rakyat Aceh berlindung di sekitar Mesjid Raya Aceh. Dalam pertempuran itu, pasukan
rakyat Aceh berhasil menembak Jenderal Kohler hingga tewas. Akhirnya, serangan
Belanda pertama itu tidak berhasil.112
Ekspedisi militer kedua terjadi pada
tahun 1874, dipimpin oleh Mayor Jenderal Van Swieten. Pertempuran terjadi
kembali di sekitar Mesjid Raya Aceh. Pasukan rakyat Aceh dipimpin oleh Panglima
Polim. Belanda mengarahkan serangannya ke istana. Melalui pertempuran yang
berjalan sengit, istana dapat dikuasai oleh Belanda.
Perlawanan terhadap Belanda terus terjadi
di mana-mana, antara lain:
a. perlawanan
rakyat Aceh di daerah Pidie dipimpin oleh Teungku Cik Di Tiro;
b. Teuku
Umar dengan istrinya Cut Nyak Din memimpin di Aceh bagian barat.
Walaupun istana telah direbut Belanda,
tetapi perjuangan rakyat Aceh terus berkobar. Daerah-daerah di luar kota
dikuasai sepenuhnya oleh para pejuang Aceh. Mereka dipimpin oleh para teuku
(panglima) dan teungku (ulama).
Mayor Jenderal Van Swieten diganti oleh
Jenderal Pel. Namun Jenderal Pel tewas dalam pertempuran di Tonga. Melihat
kenyataan itu,pemerintah kolonial Belanda akhirnya mengirim seorang misionaris
ahli agama Islam untuk mempelajari adat istiadat rakyat Aceh. Ia bernama Dr.
Snouck Hurgronje dengan menggunakan nama samaran Abdul Gafar. Ia meneliti
kehidupan rakyat Aceh dengan ikut berbaur ke dalamnya. Hasil penelitiannya
adalah sebagai berikut:
a. seorang
sultan tidak mempunyai kekuasaan tanpa adanya persetujuan dari bawahannya;
b. ulama
sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan hasil kerja Dr. Snouck
Hurgronje ini, Belanda menyusun kebijakan sebagai berikut:
a. melakukan
politik memecah kekuatan rakyat;
b. ulama
harus dihadapi dengan kekuatan militer;
c. dipisahkannya
kaum ulama dengan bangsawan;
d. dibukanya
kesempatan bagi anak-anak bangsawan untuk dijadikan pamong praja.
Dengan tekanan yang keras, satu per satu
pimpinan rakyat Aceh dapat ditaklukan. Baik dengan jalan ditangkap maupun
menyerahkan diri. Dengan hilangnya para pemimpin rakyat Aceh, akhirnya Aceh
dapat dikuasai oleh Belanda pada tahun 1904. Demikianlah tidak ada satu pun
rakyat atau kerajaan dan penguasa di wilayah Nusantara yang menyerah begitu
saja kepada penjajah. Mereka berjuang mempertaruhkan segala harta, masa depan,
bahkan nyawa untuk membela dan mempertahankan kedaulatan sebagai bangsa yang
merdeka.
B.
Perlawanan
pada Abad ke-20
Pada tahun 1900, di saat bangsa
Indonesia mulai terbuka dalam berpikir, maka cara perjuangan untuk merebut
kemerdekaan juga mulai menggunakan pendekatan organisasi pergerakan. Hal itu
didukung juga oleh perubahan kebijakan dari penjajah Belanda dengan mengizinkan
berdirinya sekolah pribumi.
Sejarah mencatat beberapa organisasi pergerakan
kemerdekaan yang mempengaruhi perjalanan bangsa Indonesia sampai dengan
tercapainya kemerdekaan Indonesia. Adapun organisasi pergerakan tersebut antara
lain adalah Budi Utomo, Sarekat Islam, Muhamadiyah, Gerakan Pemuda,Taman Siswa,
Gerakan Wanita, Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Gerakan Buruh. Sejarah
bangsa Indonesia mencatat beberapa tokoh bangsa dengan segala perjuangan dan
pengorbanannya. Mereka merelakan berbagai kepentingan pribadinya untuk membela
rakyat. Tokoh-tokoh tersebut antara lain sebagai berikut.
1.
Raden
Ajeng Kartini
R.A. Kartini adalah putri Bupati Jepara,
Raden Mas Ario Adipati Sostroningrat. Dilahirkan tanggal 21 April 1879 di
Mayong Kabupaten Jepara. Beliau adalah perintis kemajuan wanita Indonesia
dengan perjuangan emansipasi wanita. Beliau mempunyai cita-cita mengangkat
derajat kaum wanita agar mempunyai hak dan kecakapan yang sama dengan kaum
pria. Beliau berkeinginan untuk sekolah, namun dilarang oleh orang tuanya. Sebagai
seorang gadis, beliau harus menjalani masa pingitan sampai masa pernikahan. Hal
ini merupakan kewajiban yang harus dijalani oleh setiap perempuan pada masa itu
Kegemaran beliau adalah membaca. Dengan membaca, pikiran menjadi terbuka lebar.
R.A. Kartini dapat membandingkan kemajuan yang dicapai wanita yang ada di
negeri Barat dengan wanita di Indonesia.
Sejak saat itulah timbul niatnya untuk mendirikan
sekolah bagi kaum wanita. Bersamaan dengan itu, ayahnya meminta agar R.A. Kartini
menikah dengan Bupati Rembang yang bernama Adipati Joyodiningrat. Untung saja,
R.A. Kartini mendapat suami yang baik.
Beliau menikah dengan orang yang memahami betul keinginannya. Sebagai permulaan
dibukalah sekolah Kartini di rumahnya. Selanjutnya, bermunculan sekolah Kartini
di berbagai daerah, seperti di Semarang, Yogyakarta, Solo, Malang, Madiun,
Cilacap, dan lain-lain. Sejak masih muda, R.A. Kartini selalu melakukan
korespondensi dengan teman-temannya di negeri Belanda. Di dalam suratnya, R.A.
Kartini selalu menuliskan keinginannya untuk memajukan kaum wanita di
Indonesia. Sekarang, isi surat-suratnya itu diterbitkan dalam sebuah buku yang
berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang.
R.A. Kartini meninggal pada tanggal 17
September 1904 dalam usianya yang masih muda, yaitu 25 tahun. Sebagai
penghargaan dan penghormatan kepada beliau, setiap tanggal 21 April diperingati
sebagai hari Kartini.
2.
Dewi
Sartika
Dewi Sartika adalah putri dari Raden
Rangga Somanagara dan Raden Ayu Rajapermas. Lahir pada tanggal 4 Desember 1884 di
Cicalengka, Jawa Barat. Beliau merupakan tokoh perempuan Indonesia. Selama
hidupnya, ia berusaha memperjuangkan kemajuan kaun wanita Indonesia agar
memiliki kedudukan dan derajat yang sama dengan kaum pria. Sejak itulah, beliau
bercita-cita ingin mendirikan sekolah perempuan. Gambar 2.8 R.A. Kartini Sumber:
Ensiklopedi Nasional Indonesia115 Peranan Tokoh Pejuang dan Masyarakat dalam
Mempersiapkan dan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
Akhirnya, cita-cita tersebut dapat dicapai
pada usia ke-18 tahun. Tepatnya dengan didirikan Sakola Istri (sekolah perempuan) pada tanggal 16 Januari
1904. Pada tahun 1910, sekolah ini
berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri. Gerakan yang dilakukan beliau diikuti oleh tokoh-tokoh
lain di Jawa Barat dan Sumatera.
3.
Ki
Hajar Dewantara
Nama lain dari beliau adalah Suwardi
Suryaningrat. Lahir tanggal 2 Mei 1889 dan dibesarkan di lingkungan keluarga
bangsawan Yogyakarta. Bersama dengan Douwes Dekker dan Dr. Cipto Mangunkusumo,
beliau mendirikan Indische Partij. Beliau pernah dibuang ke negeri Belanda pada
tahun 1913 selama 6 tahun. Pada saat itulah beliau banyak mempelajari
masalah-masalah pendidikan. Setelah partainya mengalami kemunduran, alat perjuangan
beliau adalah melalui jalur pendidikan. Menurutnya, kemunduran, kemerosotan,
dan ketertinggalan rakyat Indonesia adalah masalah pendidikan yang belum
ditangani dengan baik.
Pada tahun 1922, beliau mendirikan Taman
Siswa. Sekolah itu untuk mendidik penduduk supaya menjadi warga negara yang mempunyai
derajat dan semangat kebangsaan. Semboyan dari Ki Hajar Dewantara adalah Ing Ngarso Sung Tulodo Ing Madya Mangun Karso
Tut Wuri Handayani. Jerih payah perjuangan beliau sangat dirasakan sekali oleh
rakyat Indonesia dari saat memasuki masa kemerdekaan sampai sekarang.
4.
Douwes
Dekker
Beliau mempunyai nama panggilan
Danudirdja Setiabudhi. Seorang Indo keturunan campuran antara Belanda
Indonesia. Dilahirkan tanggal 8 Oktober 1879 di Pasuruan, Jawa Timur. Pada usia
18 tahun, beliau mulai bekerja menjadi pegawai perkebunan. Sering terjadi
perselisihan paham dengan atasannya yang lebih banyak membela pemerintah Hindia
Belanda. Sementara Douwes Dekker sendiri ingin membela kepentingan buruh
pribumi. Setelah keluar dari pekerjaannya, beliau menjadi wartawan dan pimpinan
redaksi surat kabar De Express dan Het Tijdchrift. Melalui media tersebut,
beliau menyerukan kaum Indo dan kaum pribumi untuk bersatu bersama-sama
menentang penjajahan Belanda. Pada tanggal 25 Desember 1912, ia bersama
teman-temannya, yaitu Dr. Cipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara mendirikan partai
politik yang bernama Indische Partij. Akan tetapi sangat disayangkan, beliau
dianggap membahayakan pemerintah colonial Belanda. Beliau dibuang dengan tokoh
organisasi lainnya. Beliau meninggal di Bandung pada tahun 1949
5.
Haji
Samanhudi
Beliau mempunyai nama panggilan
Danudirdja Setiabudhi. Seorang Indo keturunan campuran antara Belanda
Indonesia. Dilahirkan tanggal 8 Oktober 1879 di Pasuruan, Jawa Timur. Pada usia
18 tahun, beliau mulai bekerja menjadi pegawai perkebunan. Sering terjadi
perselisihan paham dengan atasannya yang lebih banyak membela pemerintah Hindia
Belanda. Sementara Douwes Dekker sendiri ingin membela kepentingan buruh
pribumi. Setelah keluar dari pekerjaannya, beliau menjadi wartawan dan pimpinan
redaksi surat kabar De Express dan Het Tijdchrift. Melalui media tersebut,
beliau menyerukan kaum Indo dan kaum pribumi untuk bersatu bersama-sama
menentang penjajahan Belanda.
Pada tanggal 25 Desember 1912, ia
bersama teman-temannya, yaitu Dr. Cipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara
mendirikan partai politik yang bernama Indische Partij. Akan tetapi sangat disayangkan,
beliau dianggap membahayakan pemerintah colonial Belanda. Beliau dibuang dengan
tokoh organisasi lainnya. Beliau meninggal di Bandung pada tahun 1949 Melihat
keadaan yang demikian, Haji Samanhudi menghimpun kekuatan di bidang perdagangan
dan agama. Pada tahun 1911, beliau mendirikan Serikat Dagang Islam (SDI) di
Kota Solo. Anggota awalnya hanya terdiri atas pedagang batik di Solo saja. Lahirnya
SDI mendapat sambutan yang luas. Dalam waktu yang sangat singkat cabang-cabang
SDI muncul di berbagai tempat di luar Kota Solo. Pada tanggal 10 September
1912, nama Serikat Dagang Islam dirubah menjadi Serikat Islam (SI). Haji
Samanhudi diangkat menjadi ketuanya sampai tahun 1914. Sesudah itu, SI dipimpin
oleh Haji Oemar Said Cokroaminoto.
Sejak tahun 1920, beliau tidak aktif
lagi di dalam kegiatan partai karena kesehatannya sering terganggu. Namun
perhatiannya terhadap perjuangan pergerakan nasional tidak pernah surut. Beliau
meninggal pada tanggal 28 Desember 1956 di Klaten dan dimakamkan di Desa
Banaran Kecamatan Grogol Sukoharjo Jawa Tengah
6. Muhammad
Husni Thamrin
Dilahirkan
di Jakarta tanggal 16 Februari 1894. Setelah tamat dari HBS (setingkat SMP),
beliau bekerja pada pemerintahan Belanda. Beliau sangat memerhatikan kemajuan
masyarakat Betawi (Jakarta) khususnya dan bangsa Indonesia umumnya. Pada tahun
1919, beliau menjadi anggota Dewan Kota Batavia (Jakarta). Di Dewan Kota, ia
banyak menyuarakan kemajuan bagi bangsa Indonesia. Karena kemampuannya, beliau
diangkat menjadi wakil wali kota, namun tidak menyurutkan kecamannya terhadap
penjajah Belanda yang menindas bangsa Indonesia. Tahun 1927, beliau diangkat
menjadi anggota Volstraad (DPR) dan membentuk fraksi nasionalis untuk
memperkuat golongan nasionalis. Sebagai wakil rakyat, beliau bersama Kusumo
Utomo mengadakan peninjauan ke Sumatra untuk meninjau nasib buruh perkebunan
yang sangat menderita. Kegiatannya di Partai Indonesia Raya (Parindra)
menjadikan beliau dicurigai oleh Belanda.
Pada tahun 1939, beliau mengajukan mosi
agar istilah Nederlands Indie diganti menjadi istilah Indonesia. Sebagai
akibatnya, Belanda mengenakan tahanan rumah pada tanggal 6 Januari 1941. Beliau
meninggal dunia karena sakit pada tanggal 11 Januari 1941 dan dimakamkan di
pemakaman Karet, Jakarta.
7. Otto
Iskandardinata
Dilahirkan
di Kota Bandung tanggal 31 Maret 1897. Pada masa Belanda beliau menamatkan
pendidikan di sekolah guru. Kemudian menjadi guru SMA di Purworejo dan
Banjarnegara, aktif di dalam organisasi Budi Utomo di Pekalongan dan menjadi
wakil ketua Budi Utomo Pekalongan juga
menjadi anggota Dewan Kota. Di lembaga inilah beliau mengkritik Belanda yang
mengakibatkan penderitaan bagi rakyat. Oleh karena itu, beliau berselisih paham
bahkan sampai bertengkar hebat dengan Residen Pekalongan pada waktu itu. Otto
Iskandardinata pindah ke Jakarta dan mengajar di Perguruan Tinggi Muhamadiyah.
Ia aktif pula dalam kepengurusan Paguyuban Pasundan cabang Jakarta. Berkat usahanya,
Paguyuban Pasundan banyak mendirikan sekolah.
Akhirnya. beliau terpilih menjadi wakil rakyat dalam Volstraad. Pada
bulan Oktober 1945, beliau diculik oleh sekelompok pengkhianat bangsa. Beliau
tewas dibunuh di daerah Mauk Banten tanggal 20 Desember 1945, makamnya kemudian
dipindahkan ke Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar